YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 25 Agustus 2015

Malam Malang..

Hanya tersisa 3 menit lagi hingga waktu tepat pukul 1 pagi, waktu dimana aku memulai hobiku, membuka percakapan pada diriku sendiri, sebab terlalu meluruhkan emosi bila diam kupendam mengendap tanpa menguap dibawa udara. Hal yang tak begitu penting yang dapat kau ketahui, aku ini gemar menjajaki masa lampau, berjalan dilorong-lorongnya, menutup rapat jendela hingga cahaya tak dapat masuk dan aku dapat lebih melarut menjajaki masa yang lebih dan lebih lampau lagi.

Aku pernah begitu setia menjadi pesakitan yang bermata nanar, yang bertangan gemetar, yang melangkah bimbang, sebab kau berhasil menjadi yang paling setia menggerogoti jantung hingga tak mampu lagi memompa oksigen ke pembuluh-pembuluh darah. Hampir semua mampu kau sumbat.
Ritual menjelang tidur dini hari seperti berbeda dari biasanya, dimana aku gemar mengucap mantra yang menjadi doa, harap-harap yang kalap kupanjat, yang terlanjur fasih kukecap. Kemudian dengan berani kau rampas ritualku menjadi gelisah-gelisah yang berhasil terjadi sama persis dengan yang kau mau.

Malam menjadi begitu dingin, meski dengan selimut masih mampu membuatku gigil, tapi ternyata masih saja kau tega membiarkan aku menikmati gigil yang semakin menjadi sendirian, masih tega kau bungkam mulutku hingga kemudian hanya lewat air mata aku mampu bicara. Kutarik lagi selimutku hingga menutupi semua tubuhku, kutengadahkan kepalaku agar air mata tertahan sampai kelopak saja, sampai ujung kelopak saja.

Aku nyaris amuk sendiri ditengah malam di ruang yang tiba-tiba terasa hampa udara, aku berkelahi, aku dorong hingga terhujam, kemudian aku tarik dan aku dorong lagi hingga terhujam kedua kalinya, lebih keras, aku koyak-koyak tubuhnya, aku tagih keberanian yang pernah aku janjikan pada diriku sendiri, tubuhku sendiri. Keberanian yang semula kuyakinkan aku akan mencarinya, kemudian aku dapatkan dan aku masukkan hingga pojok-pojok lengkung jantung dan hati. Tapi sementara aku mati, sebab gagal mendapatkannya. Aku mati ditelan ruang hampa 2x2, dimakan gelap yang semakin pekat, dipermainkan waktu yang terasa lambat membawa matahari ke ufuk.

Sementara kau bertopeng sedih diluar pintu, kau berlagak memohon agar semua baik-baik saja, kau merendahkan nada bicaramu supaya kau menjadi figur yang paling betul. Aku bahkan menemukan kebuntuan-kebuntuan diujung jembatan-jembatan pikiran. Masih, masih dengan ruang hampa, jendela yang tertutup rapat dan dinding yang enggan jadi bidang aku bersandar.

Hingga pukul 3, aku melemahkan saraf-saraf kepala yang hampir 3 jam meregang tegang. Aku tidak menangis, sebab kantong mata sudah cukup besar untuk menahannya agar tidak jatuh. Maka aku hanya duduk bersandar pada sisi tempat tidur yang lebih rendah dari badanku meski sembari kupeluk kedua kaki, kemudian aku rendahkan pikiranku yang mengadu lelah sebab kuajak ke lorong-lorong gelap masa lampau, berjalan tanpa cahaya namun terarah. Namun aku puas, menjadi si pesakitan yang berjalan sendirian dalam gelap, tanpa cahaya, tanpa alas kaki. Puas menikmati kesakitan yang banyak kau buat untuk kunikmati bersama malam-malam selanjutnya.


Meski aku tidak mendapatkan apa-apa, meski hanya kepuasan munafik yang sebenarnya tak ingin lagi kudapati, meski bosan betapa aku selalu menyiksa diriku sendiri, meski gemar, meski tiada yang mampu menghentikan permainan malamku yang malang. Tapi aku puas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar