Malam Malang..
Hanya tersisa 3 menit lagi hingga
waktu tepat pukul 1 pagi, waktu dimana aku memulai hobiku, membuka percakapan
pada diriku sendiri, sebab terlalu meluruhkan emosi bila diam kupendam
mengendap tanpa menguap dibawa udara. Hal yang tak begitu penting yang dapat
kau ketahui, aku ini gemar menjajaki masa lampau, berjalan dilorong-lorongnya,
menutup rapat jendela hingga cahaya tak dapat masuk dan aku dapat lebih melarut
menjajaki masa yang lebih dan lebih lampau lagi.
Aku pernah begitu setia menjadi
pesakitan yang bermata nanar, yang bertangan gemetar, yang melangkah bimbang,
sebab kau berhasil menjadi yang paling setia menggerogoti jantung hingga tak
mampu lagi memompa oksigen ke pembuluh-pembuluh darah. Hampir semua mampu kau
sumbat.
Ritual menjelang tidur dini hari
seperti berbeda dari biasanya, dimana aku gemar mengucap mantra yang menjadi
doa, harap-harap yang kalap kupanjat, yang terlanjur fasih kukecap. Kemudian
dengan berani kau rampas ritualku menjadi gelisah-gelisah yang berhasil terjadi
sama persis dengan yang kau mau.
Malam menjadi begitu dingin,
meski dengan selimut masih mampu membuatku gigil, tapi ternyata masih saja kau
tega membiarkan aku menikmati gigil yang semakin menjadi sendirian, masih tega
kau bungkam mulutku hingga kemudian hanya lewat air mata aku mampu bicara.
Kutarik lagi selimutku hingga menutupi semua tubuhku, kutengadahkan kepalaku
agar air mata tertahan sampai kelopak saja, sampai ujung kelopak saja.
Aku nyaris amuk sendiri ditengah
malam di ruang yang tiba-tiba terasa hampa udara, aku berkelahi, aku dorong
hingga terhujam, kemudian aku tarik dan aku dorong lagi hingga terhujam kedua
kalinya, lebih keras, aku koyak-koyak tubuhnya, aku tagih keberanian yang
pernah aku janjikan pada diriku sendiri, tubuhku sendiri. Keberanian yang semula
kuyakinkan aku akan mencarinya, kemudian aku dapatkan dan aku masukkan hingga
pojok-pojok lengkung jantung dan hati. Tapi sementara aku mati, sebab gagal
mendapatkannya. Aku mati ditelan ruang hampa 2x2, dimakan gelap yang semakin
pekat, dipermainkan waktu yang terasa lambat membawa matahari ke ufuk.
Sementara kau bertopeng sedih
diluar pintu, kau berlagak memohon agar semua baik-baik saja, kau merendahkan
nada bicaramu supaya kau menjadi figur yang paling betul. Aku bahkan menemukan
kebuntuan-kebuntuan diujung jembatan-jembatan pikiran. Masih, masih dengan
ruang hampa, jendela yang tertutup rapat dan dinding yang enggan jadi bidang
aku bersandar.
Hingga pukul 3, aku melemahkan
saraf-saraf kepala yang hampir 3 jam meregang tegang. Aku tidak menangis, sebab
kantong mata sudah cukup besar untuk menahannya agar tidak jatuh. Maka aku
hanya duduk bersandar pada sisi tempat tidur yang lebih rendah dari badanku
meski sembari kupeluk kedua kaki, kemudian aku rendahkan pikiranku yang mengadu
lelah sebab kuajak ke lorong-lorong gelap masa lampau, berjalan tanpa cahaya
namun terarah. Namun aku puas, menjadi si pesakitan yang berjalan sendirian
dalam gelap, tanpa cahaya, tanpa alas kaki. Puas menikmati kesakitan yang
banyak kau buat untuk kunikmati bersama malam-malam selanjutnya.
Meski aku tidak mendapatkan
apa-apa, meski hanya kepuasan munafik yang sebenarnya tak ingin lagi kudapati,
meski bosan betapa aku selalu menyiksa diriku sendiri, meski gemar, meski tiada
yang mampu menghentikan permainan malamku yang malang. Tapi aku puas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar