YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Senin, 12 Oktober 2015

H for Happiness with Hafizh

Malam ini, aku begitu giat mengingat-ingat memori dulu, ketika nyaris 3 tahun lalu kau taruhkan hatimu untuk aku jaga.  Sembari kau usap jemariku sebab dingin yang kamu pun gigil sendiri, di tempat itu, tempat yang kita pernah berjanji akan menyambanginya lagi lain hari. Namamu Hafizh, yang saat itu baru kukenal 3 bulan saja, sosok yang akhirnya membuat isi hatiku meruah dan kubagi denganmu. Hafizh yang pernah beberapa kali kupergoki kegugupannya jika berjalan tepat disebelahku, yang mengaku bahagia ketika berhasil menyelipkan jemarinya disela jemariku dan yang mengajakku ke pasar bunga tapi sebatang pun tak dibelikannya untukku.
Hafizh yang sampai detik ini masih betah mengayuh sampan denganku. Iya, sampan. Sampan yang mudah goyah ketika diterpa arus besar dan angin kencang, tapi hafizh tetap mengajakku mengayuh bersamanya dengan lebih kuat hingga sampai pada hulu sungai yang kita tuju. Hafizh tak pernah berhenti mengendarai buih, menyusuri urat-urat bumi, meski ia tahu sulit, tapi mudah jika denganku, diakuinya.
Aku dibuatnya larut dalam pertokohan yang lebih indah dari romantisme Rama-Sinta, yang kadang mengharu biru seperti Romeo-Juliet, hingga aku tak mau turun dari pentas meski dipaksa, meski lampu sorot satu per satu dimatikan tanda berakhirnya pementasan. Aku selalu ingin memiliki kisah indah seperti Sinta, dan aku selalu ingin seberuntung Juliet memiliki Romeo. Aku ingin hidup lebih lama seperti ini, yang bahkan kolokanku saja kau sukai, manjaku kau tagih, marah pun kau usap kepala kekanakanku ini. Ah, aku larut.
Aku adalah perempuan yang ingin menjadi pagi dan soremu, yang mengantarmu pada bulir semangat dan menjemputmu meski kau dalam lelah. Aku yang paling setia memutar jari menuju ketiakmu biar kau tertawa menahan geli, mencubit sisi perutmu kalau kau mulai meledek, dan mengusap kepalamu ketika kau ingin mengeluh.
Bahkan mataku berkaca menulisinya, mengingat wajahnya yang memelas ketika aku mulai diam tak mau bicara, mengingat tuturnya yang halus meski aku membalasnya dengan nada tinggi, mengingat sikapnya yang selalu ingin mengajariku membangun dinding-dinding kerukunan sejak dulu, dan kesetiaannya meski banyak yang berparas ayu di luar sana.

Hingga aku tambatkan waktuku untuk mendoanya setiap malam, hati yang kurendahkan, tangan yang kutengadahkan, dan mata yang sesekali mengembang demi memintanya menjadi yang terbaik untukku, hingga hanya Allah yang menjadikan maut sebagai alasan satu-satunya membuat kami bepisah dalam raga, hanya dalam raga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar