Bertelungkup tepat dibawah semilir
kipas angin dinding, sembari mengingat peristiwa-peristiwa sebelum hari ini
datang. Ini merupakan hal yang menjadi langka aku lakukan sebab rasanya waktu
menjadi berlenggang sesukanya. Hingga hari ini takdir masih suka menari-nari.
Siapa sangka aku menjadi aku saat ini. Masa-masa sekolah sudah terbang membawa
kenangannya, masa kuliah sudah berlalu menjejakkan setumpuk bekas mimpi-mimpi
seorang mahasiswi. Kesempatan kerja membawa aku berdiri di titik-titik Ibukota,
lingkar lingkup ada yang memeluk bersahabat bahkan ada yang mendengus sinis
dari balik punggungku.
Kekacauan yang kadung kutemui
setiap hari menjadi tidak serat lagi kutelan, berbeda jika aku menyikapi
tandamu yang semakin sulit kuterjemahkan ke dalam bahasaku. Mungkin aku begitu
larut terbawa stigma orang bahwa kita semakin diuji oleh lamanya waktu atau
mungkin juga aku yang telah lelah berupaya.
Tapi semua serba kebetulan, bolak
balik aku mencari akal yang paling sehat, bolak balik pula akal sehat lari tak
karuan. Kupahami kembali bahwa ternyata aku membutuhkan rumah yang belum lama
kau janjikan. Rumah yang dulu, yang dindingnya masih kuat dan kayunya belum
rapuh. Bukan yang hanya bersisa pondasi tanpa atap yang melindungi, tanpa
jendela yang menahan angin, yang pagar besinya sudah berkarat, yang pintunya
berlubang dimakan rayap. Aku tak bisa lagi merumah.
Sepertinya kau menemui lelah,
meski besar upayamu menyembunyikannya. Tapi, nyaris lima tahun aku mengenal
matamu, cukup untuk aku khatam pada arti setiap kedipnya. Hingga lelahmu masih
kau lipat rapi dan kau selipkan dibawah bantal. Kau bilang tak ada arti lelah
dalam kamusmu selama tetap bersamaku. Kau putuskan untuk tetap menjadi yang
paling hangat, meski hangatmu kerap berbuih kecewa.
Kau tahu? Bahkan aku limbung
sendiri, kukira melupa tak harus membenci kenangan. Tapi, beribu kali aku
salah. Sebab, ada rindu yang datangnya setiap hari, yang setia menjadi benang
jahit pada aku yang kadung luka. Sementara itu, lukaku kau buat melebur sebab
rindu. Kemudian, kau genggam erat lagi, dan kau ajak aku lebih mendekat pada
tepian.
Meski aku kerap tersaruk-saruk,
kau tetap setia menggapai tanganku yang bertengadah, kau yakinkan bahwa kita
tak pernah salah naluri, bahwa luka ada hanya untuk dipelajari letak
kesakitannya. Bukan untuk didiamkan hingga tersusun dendam mendalam. Beribu
kali pula salah membuatku mengampun padamu, tapi kau tak tega melihat aku yang
memelas bersalah dan kau sederhana mengatakan bahwa kau hanya ingin mendidikku
membedakan kesalahan dari segala bentuk kebaikan.
Sekarang, aku mengerti, bahwa
rumah yang dulu masih kokoh berdiri diatas tanah padat. Pondasinya masih kuat,
tak ada atap yang bocor, angin pun hanya masuk dari celah kecil jendela yang
membuat sejuk didalam, tidak ada besi yang korosi, dan pintunya juga masih terkunci
kalau-kalau ada seorang ingin menjahat. Ternyata, aku hanya perlu mengais
debunya, menyapu setiap kotoran pada lantai dan menyusun pigura-pigura kenangan
yang sempat kita abadikan. Dan aku tetap bisa merumah, padamu rumah yang kerap
lupa kurawat.
Allah ajaib! Aku mencintai apapun
yang pernah dan akan Allah takdirkan.
Dan mengenalmu adalah salah satunya...
Diar Atmaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar