YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 09 Februari 2017

Aku yang Merumah...

Bertelungkup tepat dibawah semilir kipas angin dinding, sembari mengingat peristiwa-peristiwa sebelum hari ini datang. Ini merupakan hal yang menjadi langka aku lakukan sebab rasanya waktu menjadi berlenggang sesukanya. Hingga hari ini takdir masih suka menari-nari. Siapa sangka aku menjadi aku saat ini. Masa-masa sekolah sudah terbang membawa kenangannya, masa kuliah sudah berlalu menjejakkan setumpuk bekas mimpi-mimpi seorang mahasiswi. Kesempatan kerja membawa aku berdiri di titik-titik Ibukota, lingkar lingkup ada yang memeluk bersahabat bahkan ada yang mendengus sinis dari balik punggungku.

Kekacauan yang kadung kutemui setiap hari menjadi tidak serat lagi kutelan, berbeda jika aku menyikapi tandamu yang semakin sulit kuterjemahkan ke dalam bahasaku. Mungkin aku begitu larut terbawa stigma orang bahwa kita semakin diuji oleh lamanya waktu atau mungkin juga aku yang telah lelah berupaya.

Tapi semua serba kebetulan, bolak balik aku mencari akal yang paling sehat, bolak balik pula akal sehat lari tak karuan. Kupahami kembali bahwa ternyata aku membutuhkan rumah yang belum lama kau janjikan. Rumah yang dulu, yang dindingnya masih kuat dan kayunya belum rapuh. Bukan yang hanya bersisa pondasi tanpa atap yang melindungi, tanpa jendela yang menahan angin, yang pagar besinya sudah berkarat, yang pintunya berlubang dimakan rayap. Aku tak bisa lagi merumah.

Sepertinya kau menemui lelah, meski besar upayamu menyembunyikannya. Tapi, nyaris lima tahun aku mengenal matamu, cukup untuk aku khatam pada arti setiap kedipnya. Hingga lelahmu masih kau lipat rapi dan kau selipkan dibawah bantal. Kau bilang tak ada arti lelah dalam kamusmu selama tetap bersamaku. Kau putuskan untuk tetap menjadi yang paling hangat, meski hangatmu kerap berbuih kecewa.

Kau tahu? Bahkan aku limbung sendiri, kukira melupa tak harus membenci kenangan. Tapi, beribu kali aku salah. Sebab, ada rindu yang datangnya setiap hari, yang setia menjadi benang jahit pada aku yang kadung luka. Sementara itu, lukaku kau buat melebur sebab rindu. Kemudian, kau genggam erat lagi, dan kau ajak aku lebih mendekat pada tepian.

Meski aku kerap tersaruk-saruk, kau tetap setia menggapai tanganku yang bertengadah, kau yakinkan bahwa kita tak pernah salah naluri, bahwa luka ada hanya untuk dipelajari letak kesakitannya. Bukan untuk didiamkan hingga tersusun dendam mendalam. Beribu kali pula salah membuatku mengampun padamu, tapi kau tak tega melihat aku yang memelas bersalah dan kau sederhana mengatakan bahwa kau hanya ingin mendidikku membedakan kesalahan dari segala bentuk kebaikan.

Sekarang, aku mengerti, bahwa rumah yang dulu masih kokoh berdiri diatas tanah padat. Pondasinya masih kuat, tak ada atap yang bocor, angin pun hanya masuk dari celah kecil jendela yang membuat sejuk didalam, tidak ada besi yang korosi, dan pintunya juga masih terkunci kalau-kalau ada seorang ingin menjahat. Ternyata, aku hanya perlu mengais debunya, menyapu setiap kotoran pada lantai dan menyusun pigura-pigura kenangan yang sempat kita abadikan. Dan aku tetap bisa merumah, padamu rumah yang kerap lupa kurawat.

Allah ajaib! Aku mencintai apapun yang pernah dan akan Allah takdirkan. 

Dan mengenalmu adalah salah satunya...


Diar Atmaja


Tidak ada komentar:

Posting Komentar